Konsep-konsep sihabatahon yang di
ciptakan pendahulu kita salah satunya “boru ni raja” Konsep ini
mengingatkan orang Batak betapa terhormatnya seorang boru di dalam satu
keluarga orang Batak. sejak jaman dahulu. sesungguhnya konsep-konsep
tersebut, membuat kita sadar, bahwa seorang orang Batak tidak boleh
menganggap rendah derajat seorang perempuan. Segudang persoalan terjadi
pada diri orang Batak dewasa ini, karena mereka bukan lagi orang Batak
yang memahami konsep-konsep tersebut.
Penggalian-istilah secara konseptual dan
filosofis terhadap istilah istilah yang ditanamkan oppung kita sejak
dulu sangat perlu, seperti “dipahuta” “muli” “boru ni raja” dalam
menulis nama perempuan batak, diantara nama dan marga harus ditulis “br”
bukan langsung dengan marga. Menikah adalah suatu pilihan apalagi pada
era globalisasi sekarang.
Tapi selaku warga dari suku batak, apa
yang dikatakan “pilihan” bahwa seorang perempuan Batak menjadi aib bagi
keluarga bila sampai tua tidak menikah, karena alasan pisah dari orang
tua, belum tentu seperti harapaannya dengan suami, dan berbagai macam
persoalan dugaan, bahkan yang paling dikhawatirkan adalah hubungan
material orang tua dengan “huta” atau “ladang”menjadi hilang.
Harus kita pahami dulu konsep
“dipahuta,” dan “muli.” Bagi suku lain konsep “wanita,” yang asal
katanya, “wani” dan “toto” artinya berani menata. Menata apa? Yaitu
rumah tangganya supaya keluarga teratur dan suami betah dan senang
berdiam di rumah, akibatnya kemanapun dia pergi, selalu ingin segera
pulang kerumah untuk menikmati keteraturan penataan yang dibuat istri.
Mungkin mereka memerlukan penampakan
yang lebih teratur. Bagi orang Batak, konsep “parompuan.” Lebih kepada
konsep harajaon, karena seorang raja harus mempunyai masyarakat yang
banyak, karena rakyat yang banyak akan banyak yang mempertahankan
wilayah. Maka seorang raja perlu melakukan penggalangan, karena bagi
orang batak mengatakan “galang mula ni harajaon”. Seorang gadis Batak
harus menjadi paroppuan bagi suaminya seorang laki-laki tidak pernah
menjadi oppung atau berketurunan tanpa seorang perempuan.
Karena merupakan pilihan, maka aharkat
seorang perempuan sebagai paroppuan bagi marga lain telah sirna. Maka
konsep sebagai boru ni raja menjadi tanda tanya. Sebab konsep “boru ni
raja” baru sah kalau seorang perempuan menjadi permaisuri. Disanalah
perempuan menunjukkan kepatutan anda sebagai boru ni raja, bukan di
“rumah orang tua atau itonya” Konsep “boru raja” dikenal dalam setiap
keluarga Batak. Kata itu sering dipakai dan selalu terdengar di telinga
orang batak.
Orang batak urban sering menganggap
filosofi-filosofi kuno batak adalah produk kolot generasi lama dan
meremehkannnya. “Raja” dalam filosofi batak, berarti “yang dihormati”.
Keluarga batak dari pihak perempuan yang disebut hula-hula sering
disimbolkan sebagai “Raja”.
Simbol Raja bermakna “penghormatan”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru ni raja” atau “putri si raja”.
Posisi “Tulang” (saudara lelaki ibu saya), adalah Raja bagi semua kemenakannya.
Praktis, sebutan “boru raja” adalah
sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang
dimulai sejak ia lahir. “Kehormatan” dan “penghormatan” ini meliputi
banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity,
pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dsb. Siapapun dia, apakah dia
seorang perempuan istri Jendral atau pedagang ikan teri di pasar Senen,
ia lahir didalam konsep “boru raja”.
Banyak orang batak, yang tidak pernah
menerjemahkan konsep “boru raja” ini kepada turun-temurunnya terutama
kepada borunya. So, from now on, must did it, Tetapi dari banyak orang
yang saya kenal, miskin, kaya, tua ataupun muda nahkan orang-orang
pasaran bahkan pemuda-pemuda kelahiran kota yang sudah tidak perduli
akan nasal-usulnya, mereka semua mengenal konsep “boru raja” yang sering
didengungkan oleh ayah-ayah mereka.
Konsep “Raja” memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan keseharian keluarga batak.
Pertengkaran-pertengkaran di kalangan
keluarga batak sering disudahi dengan kalimat “Raja do hita” atau
terjemahannya adalah “kita adalah raja”. Artinya, kita tidak akan
merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena seorang
Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran,
perkelahian dsb. Hebat…! kan konsep “ke-Raja-an” dalam filosofi batak
itu?.
Walaupun dalam prakteknya hal itu lah
yang paling susah dilakukan oleh orang batak. Mungkin konsep itu dibuat
oleh opung-opung jaman dulu untuk mengatasi karakter “keras” orang
batak. Apapun itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna
konsep itu luar biasa,. Inti dari konsep “boru raja” dalam filosofi
batak mengajarkan setiap perempuan batak untuk memahami nilai-nilai
“kehormatan” dan “priyayi”, kata yang dipakai oleh masyarakat jawa untuk
menggambarkan konsep yang sama yang diambil dari bahasa jawa yaitu
“Wanita”yang berasal dari kata wani dan toto tadi.
Konsep “boru raja” juga sama dengan
keadaan yang digambarkan dalam dongeng Cinderella yang berasal dari
Eropah, karya HC Andersen.
Keningratan bukan semata sebuah lambang “kasta” belaka, tetapi sebuah simbol kepatutan yang menjadi ukuran-ukuran tidak tertulis dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan Batak seharus nya berterima
kasih pada nenek moyang kita yang memberikan sesuatu pengajaran melalui
konsep filosofis, yang dianut oleh para orangtua kita sampai sekarang.
Konsep boru ni raja sedikit banyak membentuk kepribadian perempuan Batak
sampai sekarang, walaupun tidak sedikit perempuan Batak, begitu
membenci konsep ini karena banyak yang menggambarkan sebagai konsep
kesombongan perempuan batak.
Sebaliknya banyak juga yang mengagumi
karena, setelah merasakan, betapa indahnya kehidupan sebuah keluarga
kalau seorang boru ni raja menerapkan konsep boru ni raja didalam
kehidupannya sehari-hari
Sumber : http://pakkatnews.com/pemahaman-konsep-boru-ni-raja-bagi-orang-batak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar